Sabtu, 13 Agustus 2011

Lain Islah, Lain Politik


Lain Islah, Lain Politik
Oleh: Abdurrahman Wahid

            Sepulang dari umrah Kiai Chatib Umar Jember menyatakan tidak rela, jika penulis melakukan islah (rekonsiliasi) dengan Drs Matori Abdul Djalil, yang sekitar tiga minggu sebelum gugatannya terhadap penulis, Dr. Alwi Shihab dan Drs. Arifin Djunaedi (Arjuna) dimenangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta). Sikap ini sama seperti kebanyakan Ulama yang menyampaikan sikapnya, baik secara langsung maupun surat yang diterima penulis. Terlepas dari sejumlah orang yang menghendaki islah sebagai penyelesaian bagi kemelut baru dalam tubuh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), termasuk mereka yang diundang Ari Wowor untuk menghadiri tasyakuran atas terpilihnya Burhanudin Abdullah menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Melalui seorang teman, penulis menyatakan penerimaannya atas penolakan Kiai Khotib Umar terhadap gagasan islah tersebut. Namun, melalui teman itu juga, penulis mengajukan kepada beliau agar Matori Abdul Djalil dimasukkan sebagai anggota Dewan Syura DPP PKB di bawah pimpinan penulis, apakah dalam pandangan beliau termasuk islah atau tidak? Beliau menjawab, dalam hal ini harus dipakai prinsip “Al-Maqdirah” (berkuasa karena menang ) atau dengan kata lain memegang kendali persoalan. Jika Mahkamah Agung memenangkan kasasi penulis, Dr Alwi Shihab dan Arjuna, maka jelas bahwa pemenang kasasi memiliki “Al-Maqdirah” tersebut. Dalam keadaan seperti itu, penulis sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, —dalam pandangan Kiai Chatib Umar—, dapat mengangkat Matori Abdul Djalil itu sebagai bagian dari pimpinan DPP PKB.

Hal ini disampaikan oleh penulis kepada tokoh Matori Abdul Djalil tersebut ketika bertemu dengannya beberapa hari kemudian. Dan tokoh itu, penulis minta untuk menghubungi Prof Dr Mahfud MD, segera setelah MA (Mahkamah Agung) mengeluarkan keputusan kasasi pada akhir bulan ini.
                  *****

            Ada hal yang menarik dari pembicaraan penulis dengan Kiai Chatib Umar tadi, yaitu penggunaan prinsip “Al-Maqdirah” oleh beliau. Sesuatu yang jarang digunakan (atau bahkan tidak) sepanjang sejarah hukum Islam (Fi’qh). Karena itu sangat mudah orang mengatakan penggunaan prinsip itu oleh beliau dalam hal ini, sebagai sesuatu yang utuh untuk kasus Pak Matori saja. Sama dengan keputusan Munas Ulama tahun 1957 di Medan, bahwa Presiden RI adalah memegang kekuasaan temporer dengan kekuasaan efektif (waliyul amri bis saukah), hanya sebagai keputusan yang di pandang berlaku untuk Bung Karno saja. Padahal, keputusan itu berlaku untuk semua Presiden negara ini.
Dalam hal ini, pandangan seperti Kiai dari Jember itu, sebenarnya menjadi keputusan hukum agama yang tampak agak kaku jika dilihat dari kaca mata perkembangan politik. Namun, sebenarnya tindakan Pak Matori yang menyimpang dari Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) partai adalah kesalahan yang secara hukum agama tidak dapat diterima. Karenanya, ia harus ditolak secara kategoris dan dengan demikian orang yang melakukan kesalahan seperti itu tidak dapat dibenarkan dengan cara apa pun. Sebuah langkah islah atau rekonsiliasi dalam hal ini, berarti pembenaran atas langkah yang salah di mata hukum agama tersebut. Karenanya secara hukum agama, beliau tidak rela adanya islah antara penulis dan Pak Matori.
Karena itu, ketika penulis mengajukan pertanyaan memasukkan Pak Matori ke dalam kepengurusan yang dipimpinnya, beliau menjadi serba salah dalam langkah yang diambil. Penulis mengajukan pertanyaan mengenai usul penyelesaian yang bersifat politis, karena itu akhirnya beliau menjawab juga secara politis pula. Yaitu menggunakan prinsip Al-Maqdirah seperti di kemukakan di atas. Itu pun masih disertai oleh sebuah “langkah pengamanan”, yaitu bila Mahkamah Agung memenangkan permohonan kasasi atas keputusan PN Jakarta Selatan tersebut. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa dua buah masalah dalam tataran yang saling berbeda di pikirkan baik oleh beliau maupun oleh penulis, yaitu tataran hukum dan agama.
Sering terjadi kerancuan dalam pengambilan keputusan, karena tidak jelas apakah pendekatan yang digunakan antara pengambil keputusan dan penanya. Tapi dalam tradisi pondok pesantren, Kiai Chatib Umar sangat memperhatikan perbedaan keduanya. Hal itu menunjukkan ketelitian beliau yang sangat mendalam. Hal inilah yang membuat beliau sangat disegani oleh sesama ulama pondok pesatren selama ini. Lagi-lagi ketelitian itu beliau perlihatkan dalam kasus Pak Matori Abdul Djalil itu. Sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, penulis sangat menghargai sikap beliau itu. Beliaulah salah satu penjelasan mengapa NU selama ini tetap besar dan disegani orang. Yaitu sebagai organisasi yang dapat menggunakan perbedaan dalam tataran pembahasan, yang dilakukan dengan tepat dan konsisten.
                  *****

            “Mutiara” seperti itulah yang dahulu juga digunakan wakil Rais Aam NU KH. M. Bisri Syamsuri untuk menentukan sikap terhadap niatan Bung Karno menyusun sendiri Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tahun 1959-1960. Menurut beliau dari sudut hukum agama hal itu tidak benar apabila dilakukan Presiden RI. DPR yang beliau bubarkan dengan Dekrit 5 Juli 1959 adalah hasil Pemilihan Umum, dan dengan demikian hasil pilihan rakyat. Kalau akan diganti maka seharusnya hasil pilihan rakyat juga, bukan lembaga tunjukan presiden. Beliau tegar dengan itu, karena itu adalah sebuah keputusan pribadi, yang diambil dari sudut pandang fiqh yang menjadi keahlian beliau. Tetapi beliau membiarkan sang ipar, KH. Wahab Hasbullah, Rais Aam NU waktu itu, yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan politik. Yaitu jika NU tidak turut serta dalam DPR-GR, maka tidak akan ada pihak yang mengimbangi lembaga politik di dalamnya, yang bernama PKI (Partai Komunis Indonesia). Lagi-lagi sebuah keputusan kembar dalam NU. Yang sebuah berdasarkan hukum agama dan sebuah lagi berdasarkan pertimbangan politik. Sudah tentu pertentangan seperti itu sangat merisaukan perasaan dan pikiran warga NU sendiri.
Ini kasus yang berbeda pula, ketika KH. M. Bisri Syamsuri menjadi Rais Aam sepeninggal KH. A. Wahab Hasbullah, contohnya dalam soal Keluarga Berencana. Jika sebelumnya alasan yang digunakan adalah pembatasan kelahiran, yang berarti campur tangan dalam wewenang reproduksi manusia dari tangan Allah, diubah menjadi perencanaan keluarga. Berarti metode dan alat yang digunakan harus bersifat sementara. Perubahan sebab-sebab keputusan hukum agama ini (fiqh) dikenal dengan sebutan: “ya atau tidaknya tergantung pada sebab” (ii’lah).

Jelaslah dengan demikian, bahwa ada perbedaan yang sangat besar dalam memandang sesuatu persoalan. Bila dilihat dari sudut hukum agama itu sendiri, tentu hasilnya akan berbeda dari pendekatan politis semata. Keputusan atas sesuatu persoalan dengan pendekatan hukum agama yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan –kemudian disebut penafsiran ulang (reinterpretasi), tentu berbeda dari pendekatan politis. Inilah yang harus kita sadari benar dalam memperoleh hasil berupa rumusan-rumusan yang tampak berbeda-beda, hingga seolah-olah bertentangan dalam memahami sesuatu persoalan.

Jakarta, 16 Juni 2003

Selasa, 19 Juli 2011

“BAIK BELUM TENTU BERMANFAAT

Tertawa senantiasa dilakukannya sepenuh hati. Raut mukanya seperti menyimpan tawa dalam kadar sangat besar. Sedikit alasan saja sudah cukup membuatnya tergelak-gelak. Sering kali orang sekitarnya terbawa kepada suasana penuh tawa seperti itu. Hanya kesopanan bersikap di depan seorang kiai sajalah yang menahan mereka dari turut tertawa tergelak-gelak.
Seperti kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati itu, Kiai Ali Krapyak memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang tempatnya sendiri dalam kehidupan itu.
Begitu optimistis ia memandang peranannya dalam kehidupan, sehingga ia sering bagaikan bertindak semau-maunya. Menasehati menteri, menyindir orang lain dan membuat lelucon bahkan hingga tentang soal-soal keagamaan yang terdalam sekalipun (seperti kepercayaan kepada para wali).
la sendiri yang menetapkan hak berbuat demikian, dan ia tidak bertanya kepada orang lain tentang tepat atau tidaknya tindakan seperti itu. Pokoknya ia yakin tentang penting atau benarnya suatu hal, langsung dilakukannya.
Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat pemerintahan dari tingkat teras di pusat dan daerah, sering kali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah. Kasus RUU Perkawinan dalam tahun 1973-74. Kasus tanda gambar Ka'bah menjelang Pemilu 1977. Kasus aliran kepercayaan dalam SU- MPR yang lalu. Kasus liburan puasa.

Mengapakah Kiai yang begitu luas dan bersifat akomodatif dalam pergaulan dapat mengambil sikap 'keras' dalam kasus-kasus di atas? Bukankah itu berarti adanya inkonsistensi antara pola umum hidupnya yang serba akomodatif dan kekerasan kepala dalam beberapa hal?
Jawabannya terletak pada kemampuan Kiai Ali untuk menentukan pilihan antara hal-hal esensial agama dari hal-hal yang dianggapnya bukan persoalan utama. Kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan zaman, tanpa kehilangan identitas semula yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan yang paling dalam.
Ini terbukti dari keseluruhan pola kehidupan kiai yang baik ini. Sebagai kiai yang mendalam pengetahuan agamanya, sebenarnya ia cukup mengikuti sistem pendidikan tradisional yang sudah berjalan begitu lama, untuk memperoleh tempat terhormat dalam barisan ulama 'tangguh'. ltu tak dilakukannya. Sebaliknya, ia membuka sekolah agama yang 'aneh': di samping kitab-kitab kuno agama, para santrinya dirangsang untuk membaca literatur baru dari Timur Tengah. Di samping mempelajari gramatika Arab kuno, para santri itu dirangsang untuk mempelajari literatur bahasa kontemporer.
Di samping mendalami hukum agama dari buku-buku fiqh kuno, mereka didorong untuk mendalami juga literatur studi perbandingan dengan hukum-hukum lain yang dianut di Barat dan Timur. "Mengapa Kiai menyuruh mereka membaca buku-bukunya Abduh, apakah tidak khawatir para santri 'lepas' dari NU? "Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas: "Kalau membaca buku yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang". "Mengapa Kiai begitu gandrung mengajar di IAIN, mengapa justru tidak membuka sendiri pengajian agama lanjutan khusus untuk kitab-kitab mazbab Syafi'i? "
Sambil tertawa lagi, Kiai Ali menjawab: "Di IAIN mereka akan memperoleh tambahan pengetahuan di samping kitab-kitab mazhab tersebut".
Di sini kita bertemu dengan pribadi yang mencari pemecahan pragmatis bagi masalah-masalah keagamaan yang rumit. Pragmatisme yang dihasilkan lalu memiliki perpaduan antara sikap rasionalistis dan keyakinan yang teguh akan kebenaran ajaran agama. Apa yang harus dipelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau, dan apa yang harus diambil dari kehidupan kontemporer bagi kepentingan penyesuaian dengan kebutuhan.

Dalam kerangka seperti inilah dapat dipahami 'penafsiran' Kiai Ali ini atas sebuah pendapat Imam Ghazali dalam karya utamanya lhya'. Imam Ghazali berpendapat, para remaja yang sedang menuntut ilmu harus tirakat. Antara lain dengan jalan memakan hanya daun-daunan dan sedikit buah-buahan, dan menjauhi 'makanan keras' (solid food) seperti nasi jagung dan sebagainya apalagi daging, ikan dan ayam. Hanya mencernakan makanan 'serba prihatin' seperti itu sangat baik dan bermanfaat untuk mencapai kedalaman ilmu agama. Pendapat seperti ini sudah tentu berlawanan dengan sebutan gizi para remaja yang sedang membutuhkan semua jenis makanan yang akan mengembangkan bentuk fisik tubuh mereka. Ketika ditanya pendapatnya tentang seruan Imam Ghazali untuk melakukan tirakat ngrowot seperti di atas, jawab Kiai Ali adalah 'baik, tetapi belum tentu bermanfaat'.
Kemampuan memberikan klasifikasi berdasarkan kategorisasi yang kompleks adalah kunci dari kemampuan adaptasi yang dilakukan Kiai Ali Krapyak ini. Mengaku kebaikan pendapat yang dirumuskan di masa lalu, sambil mencari manfaat yang baru, adalah salah satu bentuk adaptasi ini.
Tanpa tercabut dari akar masa lalunya, adaptasi Kiai Ali cukup dinamis, bukan? 
artikel simbah gusdur

AGAMA DAN DEMOKRATISASI

Banyak orang bertanya kepada penulis, mengapa demikian banyak orang menjadi Katolik. Bukankah dengan demikian, dalam beberapa puluh tahun saja, seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan Katolik dan Protestan. Capaian kemajuan yang luar biasa dari Kristenisasi ini, sangatlah mengerikan bagi yang meyakininya, dan sepertinya telah menjadi kenyataan (sejarah) yang harus diyakini.

Tetapi, yang tidak ikut-ikutan yakin seperti penulis ini, malah dianggap sebagai pengkhianat Islam. Lalu, apa yang harus menjadi sikap mereka? Menurut penulis, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius. Dianggap sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah tergantung pada diri kita masing-masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat ataupun tidak, bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting. Dan, jika saja masih dianggap sebagai pengkhianatan —padahal memang bukan— lebih baik dibiarkan saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau memang tidak membantu Kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal? Kristenisasi, sebagai sebuah proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah. Dengan demikian, masalah Kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan terus berlangsung.

Karenanya, dari sini, tugas penulis hanyalah ingin mendekatkan antara kaum Kristen dan muslimin di negeri kita ini. Bukankah para pendiri republik (the Founding Fathers) ini, dulunya, selalu bekerja sama dalam memperjuangkan dan mendirikan negara-bangsa yang tercinta ini? Juga, bukankah tidak ada yang mengharuskan penulis untuk beribadah secara Kristen, sama seperti halnya yang telah dialami oleh ayah penulis? Maka, diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua belah pihak, Seperti halnya, bagaimana penulis sering mengambil pemikiran Martin Luther King Jr. mengenai demokrasi. Di samping itu, bahkan penulis sering kali mengambil pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama Hindu atau Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan juga, tentunya, pemikiran Ali Abd. Roziq, yang hampir semua buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.

Dengan kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi banyak penulis ambil dari mana pun, selama hal itu merupakan pencerminan dari teologia yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai kepercayaan masing-masing, penulis tak pernah mempersoalkannya. Semua itu, kita serahkan saja pada para teolog dari masing-masing agama dan keyakinan. Dan, penulis rasa, hanya dengan beginilah pengikut semua agama akan mampu memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.

Kalau untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip tersebut penulis pertahankan, maka terhadap hal yang sama juga penulis lakukan atas berlakunya keadilan, berlangsungnya hak-hak yang sama di hadapan undang-undang (UU) dan persamaan kepentingan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Ini berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah dipertahankan dan kebebasan berpendapat harus pula dijaga.

Pembicaraan di atas, memang dapat disangkal dengan anggapan bahwa, tanpa berbicara dengan agama lain pun sesuatu agama dengan sendirinya dapat memperjuangkan demokrasi. Terhadap pernyataan ini, penulis mempunyai dua keberatan. Pertama, karena belum tentu semua argumentasi yang dipergunakan sama. Sehingga, dengan demikian, belum tentu pula ada perhatian yang sama terhadap hal-hal penting yang terdapat dalam berbagai aspek proses tersebut. Kedua, penegakan demokrasi mesti mengharuskan keikutsertaan semua warga negara yang hanya dapat diperoleh melalui persamaan pemikiran dan dekatnya pandangan-pandangan gerakan demokratisasi.

Kalau tidak demikian, berarti proses demokratisasi harus diserahkan pada ideologi-ideologi besar,seperti, nasionalisme maupun sosialisme sebagai pemikiran nonkeagamaan. Ini, dapat kita lihat dalam sejarah bangsa- bangsa yang besar, seperti Rusia, Cina, dan India. Di negeri-negeri tersebut, agama seolah-olah tak punya hak untuk turut menentukan parameter dan proses demokratisasi yang berjalan. Bahkan kehadiran partai beragama Hindu di Indonesia, beberapa tahun yang lalu —sebagai penjaga demokrasi, terasa sangat mengherankan dan hampir-hampir tak dipercayai orang. Sekarang pun orang belum percaya terhadap Liga Muslim (ML) di Pakistan, yang turut memperjuangkan demokrasi sejak negeri itu masih di bawah jajahan Inggris, dan Partai Islam yang berkuasa di Iran sekarang yang dulunya bekerja menentang tirani, yaitu Syah Iran.

Hal yang sama, juga sangat terasa sekali di negeri kita. Misalnya, antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hampir-hampir tak pernah disebut sebagai bagian dari gerakan kemerdekaan. Yang selalu dianggap adalah Partai Nasionalis-nya Bung Karno ataupun golongan sosialis pimpinan Sneevliet. Bahkan golongan komunis pun bisa dianggap lebih bersikap nasionalistik. Padahal, bagi mereka, kemerdekaan tak lain adalah salah satu tahap pencapaian dari sosialisme itu sendiri. Kalau memang demikian, mengapakah gerakan-gerakan Islam tidak pemah dianggap demikian, padahal mereka telah melalui proses yang sama? Ketidakadilan sejarah ini, menurut penulis, terjadi karena kaum muslim lebih asyik berbicara tentang masyarakat Islam dan sedikit sekali mereka berbicara tentang kemerdekaan sebagai proses sejarah. Bahkan, mereka lebih banyak berbicara tentang masyarakat Islam masa Nabi yang sudah berlangsung empat belas abad yang lain daripada kemerdekaan yang harus dicapai. Maka, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam lalu dianggap terlepas dari proses mencapai kemerdekaan, apalagi mempertahankannya.

Yang menarik, dewasa ini, hal yang sama terulang lagi. Manakah di antara gerakan Islam yang banyak berbicara tentang proses gerakan demokratisasi? Bukankah mereka lebih banyak berbicara tentang pentingnya mempertahankan kekuasaan? Bahkan, sekarang pun banyak gerakan Islam yang lebih tertarik mempertahankan status quo —termasuk mempertahankan rezim pemerintahan kini, ketimbang pentingnya membina masyarakat baru yang lebih demokratis. Dalam hal ini, contoh terbaik dari gerakan-gerakan Islam yang mencoba mempertahankan rezim yang tak demokratis itu berhadapan dengan protes para mahasiswa dan cendekiawan. Lalu, herankah kita kalau proses demokratisasi itu akhirnya "direbut" oleh berbagai gerakan yang memperjuangkan demokratisasi? Bukankah hal ini juga berlaku bagi proses perdamaian, keadilan hukum, kebebasan berbicara dan berpendapat serta persamaan hak dan kewajiban warga negara dihadapan UU?

Suatu perkecualian dalam hal ini, secara filosofis, adalah gerakan-gerakan Kristen di Indonesia, terutama gerakan Katolik. Kalau kita perhatikan, justru koran-koran yang dianggap mewakili gerakan-gerakan Kristen dan Katolik, muatan perjuangannya terhadap proses-proses demokratisasi terasa sangat mendalam dan lebih sarat. Paling tidak, dalam aspek teologi dan filsafat agama, keduanya memberikan tempat yang besar pada hal-hal di atas. Sedangkan koran-koran Islam, tampak lebih banyak membicarakan halal-haramnya sesuatu yang berarti, lebih banyak berorientasi pada hukum agama.

Herankah kita, jika di masa depan nanti, subyek demokratisasi akan lebih banyak ditentukan oleh kedua agama tersebut? Dan, karena masa depan kita akan lebih banyak berurusan dengan demokrasi, setidak-tidaknya dalam 25 tahun mendatang, bukan sesuatu yang mustahil akan terjadi proses Katolikisme dan Protestanisasi yang lebih besar lagi. Lalu, siapakah yang akan disalahkan, jika bukan para pemimpin mereka sendiri? Yang jelas, bukan penulis. Sebab, pada saat itu, penulis sudah bukan lagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ironis, bukan?
artikel alm gusdur

Comments

Recent Posts

free counters